Siapapun itu, kalau dikritik pasti ada "nyesek" nya, tapi yang membedakan itu bagaimana seseorang merespon kritik. Respon positif dan membangun, itulah pemimpin. Respon melawan dan pembenaran, bukan pemimpin..
Cuman masalahnya, narik kritik itu ga gampang loh. serius. Apalagi kalau dengan jalur "formal".
Contoh...
Waktu saya kuliah dulu, selalu ada kuesioner untuk setiap mata kuliah. Saya lupa selalu diberikan tiap akhir semester apa setiap bulan ya.. Yang jelas ini jalur formal untuk saya sebagai mahasiswa mengkritik dosen / sistem kampus.. Ngisinya online, bayangkan seperti Google Form.. Seingat saya, saya ngisi nya ga terlalu "dari hati", tapi lebih ke "memaafkan".. Ah bapak itu ngajar jelek, tapi karena saya dapat A, saya kasih nilai 5 (sangat baik) aja deh...
Kasus gitu bukan sekali, mungkin hampir semua dosen..
Alhasil, kalau disimpulkan.. Saya hanya akan jujur mengkritik kepada dosen yang bener2 nyebelin banget. Kalau nyebelin biasa aja, kalau ga cocoknya biasa aja, saya cenderung ngasih penilaian baik.
Saya yakin bukan hanya saya melakukan hal seperti itu.
----
Di perusahaan2 juga saya yakin gitu. Apalagi kalau si boss / atasan baru2 ini ngasih "bonus" atau ngasih "insentif". penilaian kita jadi saru, jadi ga objektif,
ini secara sistem.
Kalaupun sudah ditemukan sistem formal yang bisa meng-ekstrak kritik dengan baik, belum tentu semua orang mau mengkritik orang lain. Apalagi kita yang budaya timur ini, "ga enak lah", " sungkan lah", "berjiwa besar lah".. daaannnn seterusnya..
Orang orang seperti itu biasanya orang yang hidupnya lempeng-lempeng aja, menganggap konflik adalah suatu yang harus dihindari, menganggap kritik itu bukan obat. salah besar. Biasnaya orang kaya gini bukan pemimpin, karirnya biasa aja, bukan orang yang cemerlang.. silakan cek aja sekeliling anda.
--
Kritik itu bagus buat pemimpin.. tapi sistem pengambilan kritk belum ada yang bagus.. dan nyari orang yang berani mengkritik atasan juga susah... berat memang kalau mau jadi pemimpin yang baik.
tapi pagi ini saya baru baca artikel HBR, di situ bilang bahwa yang terbaik dari "narik" kritik sebenernya dari informal. Jadi bukan ngisi form, bukan ngisi survey.. tapi secara informal, ngobrol secara personal mungkin, chat secara personal mungkin, atau yang lainnya..
ini kliping artikel HBR itu.. ceile kliping, inget jaman SMP....
menurut artikel ini, ada syarat penting supaya "proses" kritik informal ini berhasil.. Si bawahan, harus mendapatkan garansi 100% bahwa si pemimpin akan ngasih "ampun", ga akan balik marah, bakal nerima kritik, menghormati prespektif, tidak beralasan, dan seterusnya... Intinya harus ada garansi penuh supaya si bawahan tidak takut menyampaikan kritik apa adanya..
Makannya akan sangat susah kalau pemimpin yang sudah dicap "galak" untuk melakukan metode ini.
wah bener juga saya pikir.. dulu saya galak, kalau 2 tahun lalu tingkat galak saya 100%, skg mungkkin hanya sisa 10% saja.. Tapi karyawan lama masih menganggap saya galak, bahkan menular juga ke karyawan baru. Berat memang, mengubah image itu.. Mengganti seluruh karyawan kan ga mungkin.. Memang harus pelan pelan untuk membuktikan bahwa saya udah berubah udah ga galak lagi.
kalau disimpulkan, mendapatkan kritk yang membangun dan menerimanya dengan lapang dada lalu mencoba membenahi diri, prosesnya panjaaaaannnnngg sekali.. dan susah.. itulah mengapa saya bulang Kritik Jujur itu Mahal
kalau anda udah dapet kritk jujur, jangan disia siakan.. tingkatkan leadership anda dari situ, ga perlu beli buku leadership, ga perlu ikut pelatihan.
semoga bermanfaat.
0 Response to "Kritik Jujur itu Mahal"
Posting Komentar